Assalamualaikum ustadz, mohon jawaban dari pertanyaan kami berikut;
1. Bagaimana posisi shaf perempuan yang shalat berjamaah bersama perempuan dan dimanakah letak imam dan makmum?
2.
Bolehkah seorang wanita mengatakan inni uhibbuka fillah (“Aku
mencintaimu karena Allah”) kepada laki-laki ajnabi yang bukan
mahram-nya?
Jawaban:
Alhamdulillaah, washshalatuwassalaamu ‘ala
man laa nabiyya ba’dah. Untuk wanita apabila shalat berjama’ah bersama
peremupuan tanpa ada laki-laki di sana, maka mereka membuat shaf
sebagaimana biasa. Jika jumlahnya banyak maka berbaris, namun jika
sedikit tidak berbaris. Sedangkan posisi imam berada
ditengah dan para makmumnya berada di sebelah kanan dan kirinya, berdiri
sejajar. Inilah yang dicontohkan oleh ‘Aisyah dan Ummu Salamah .
Tata cara ini sebagaimana disampaikan dalam Al Mushannaf Abdurrazzaq Ash
Shan’ani, juga dibawakan oleh Syaikh Musthafa Al Adawi di dalam kitab
Jami’ Ahkam An Nisa. Allahu a’lam.
Sedangkan untuk pertanyaan yang
kedua sebagaimana fatwa dari Syaikh Khalid al Muslih, beliau menyatakan,
“Tidak diperbolehkan seorang wanita mengatakan “Aku mencintaimu karena
Allah” kepada laki-laki ajnabi yang bukan mahram-nya, baik itu
disampaikan melalui lisan maupun tulisan. Betapapun bagusnya ilmu &
agama yang ada pada laki-laki tersebut maka hukumnya tetap terlarang.
Karena wanita yang beriman dilarang untuk merendahkan suaranya ketika
berbicara kepada laki-laki asing yang bukan mahram-nya.
Dalam al-Qur’an Allah #l berfirman kepada wanita-wanita yang paling sempurna keimanannya,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً
“Hai isteri-isteri Nabi,
kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang
baik” (Al-Ahzab : 32).
Ibnul ‘Arabi menjelaskan dalam kitab
tafsirnya, Ahkamul Qur’an (586/3), “Dalam ayat ini Allah memerintahkan
istri-istri Nabi agar mereka berbicara dengan perkataan yang baik,
jelas, dan tidak menimbulkan sangkaan yang tidak-tidak di hati orang
yang mendengarnya, dan Allah juga memerintahkan mereka agar senantiasa
mengatakan perkataan yang ma’ruf.”
Demikianlah Allah melarang
istri-istri Nabi dari berkata-kata lembut yang dapat mengundang syahwat
padahal mereka adalah ummahatul mukminin. Lembut disini mencakup lembut
dalam konten kata-katanya maupun lembut dalam sikap dan penuturan
katanya.
Larangan Allah ini berlaku untuk seluruh wanita beriman dan
larangan kepada selain istri-istri Nabi tentu lebih ditekankan lagi.
Karena sesungguhnya syahwat yang ada pada mereka lebih bisa mendekatkan
mereka kepada perbuatan zina. Maka hendaknya seorang wanita yang beriman
tidak melembutkan kata-katanya dan tidak mendayu-dayukannya ketika
berbicara dengan laki-laki ajnabi yang bukan mahramnya. Karena hal itu
lebih bisa menjauhkan mereka dari persangkaan yang tidak-tidak dan
keinginan untuk berbuat buruk.
Adapun hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata,
أن رجلاً كان عند النبي صلى الله عليه وسلم فمر به رجل فقال: يا رسول الله إني لأحب هذا، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أعلمته؟ قال: لا، قال: أعلمه، قال: فلحقه فقال: إني أحبك في الله، فقال: أحبك الذي أحببتني له
“Bahwasanya
ada seorang sahabat yang sedang berada di sisi Nabi shāllallahu ‘alaihi
wa alihi wasallam, kemudian seseorang lewat di hadapan mereka. Lantas
sahabat ini mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar
mencintai orang ini”. Maka Nabi pun berkata kepadanya, “Apakah engkau
telah memberitahukan rasa cintamu kepadanya?” Ia berkata, “Belum.”
Beliau berkata: “Jika demikian, pergilah dan beritahukan kepadanya”.
Maka ia langsung menemui orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah”
(sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), lalu orang tersebut
menjawab, “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu,
Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya).
Hadist ini
diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan Abu Dawud dalam Sunan-nya.
Hadist ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam.
Dalam
riwayat Ath-Thabrani terdapat tambahan: “kemudian sahabat ini kembali
menemui Nabi #n dan menceritakan jawaban orang tersebut kepada beliau.
Mendengar cerita sahabat ini Nabi #n pun bersabda, “Kamu akan bersama
dengan orang yang kamu cintai dan untukmu pahala atas apa yang kau
harapkan dari rasa cintamu itu.”
Hadist ini dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mustadrak (189/4).
Hadits
di atas tidak menunjukkan bolehnya seorang wanita mengungkapkan
perkataan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada laki-laki ajnabi yang
bukan mahram-nya, demikian juga sebaliknya. Hadist ini hanya berlaku
untuk sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan
perempuan selama aman dari fitnah dan tidak menimbulkan persangkaan yang
tidak-tidak di hati keduanya.
Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh
Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (247/1), beliau berkata: “Apabila seorang
wanita memiliki perasaan cinta (baca: simpati) kepada wanita lain maka
hendaknya dia beritahukan kepadanya”. Maka tidak diperbolehkan seorang
laki-laki mengatakan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada seorang
wanita kecuali jika wanita tersebut adalah istrinya atau mahram-nya yang
lain.
Dan tidak pernah kita jumpai satupun dari para
sahabiyah(sahabat wanita) Nabi yang mengatakan ungkapan tersebut kepada
Nabi padahal Allah telah menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai
sebuah kewajiban atas orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun
perempuan.
Demikian juga, tidak pernah kita jumpai riwayat yang
menyebutkan bahwa Nabi #n pernah mengatakan ungkapan tersebut kepada
salah seorang dari mereka. Semoga Allah senantiasa menjaga agama kita
dan menganugerahkan kepada kita petunjuk. Hanya kepada-Nya lah kita
meminta. Aamiin.” (diadaptasi dari KlikUK.com, Ust Kholid S, Lc)
Thanks udah mau koment di blog sederhana ini EmoticonEmoticon