Selain menjual cinta ahlu bait, ada dua hal yang membuat Syi’ah mudah tersebar di kalangan umat Islam. Yaitu Taqiyyahdan Mut’ah. Taqiyyah adalah sebuah prinsip dusta demi meraih tujuan. Sedangkan mut’ah adalah
zina terselubung yang dihiasi dalil agar dianggap sebagai ibadah.
Mut’ah adalah nikah kontrak, sesuai akad di awal dan mahar yang
diberikan kepada wanita bisadi angsur.
Taqiyyah, Senjata Ketika Lemah
Kebanyakan muslim tidak pernah mendengarkan bahwa Syi’ah menganggap nashibi (umat IslamSunni)
lebih layak diperangi dari pada Yahudi dan Nasrani. Mungkin, banyak
orang tidak tahu bahwa dalam buku-buku Syiah dihalalkan merampas/mencuri
harta nashibi.
Dari Abu Abdillah –Ja’far Ash
Shadiq- mengatakan: Ambillah harta orang nashibi di mana saja kamu
dapatkan, lalu bayar seperlimanya pada kami.
Riwayat ini terdapat dalam kitab Tahdzibul Ahkam jilid 4 hal 122, Al Wafi jilid6 hal43, begitu juga dinukil oleh Al-Bahrani dalam Al-Mahasin An-Nifsaniyah, Al Bahrani mengatakan riwayat ini memiliki banyak jalur.
Banyak juga orang tidak tahu bila
tetangganya, guru ngajinya atau saudaranya telah memeluk Syi’ah.
Ketidaktahuan itu wajar-wajar saja. Pasalnya dalam ajaran Syi’ah
terdapat akidah yang disebut taqiyyah. Yaitu menyembunyikan jati diri atau keyakinan-keyakinan Syi’ah di hadapan orang lain, demi sebuah misi.
Keyakinan ini merupakan Sembilan persepuluh dari seluruh ajaran Syi’ah. Bahkan Taqiyyahsyarat menjadi mukmin di mata Syi’ah. Al-Kulaini, dalam bukunya UshululKafi (482-483)
meriwayatkan bahwa Abu Abdillah –salah seorang yang diklaim imam
Syi’ah- berkata, “Hai Abu Umar, Sembilan persepuluh dari agama ini
adalah taqiyyah, tidak beragama bagi orang yang tidak bertaqiyyah.”
Sehingga banyak orang tertipu
dengan Syi’ah. Pasalnya, akidah-akidah busuk Syi’ah sengaja
disembunyikan dari umat Islam, agar kebobrokan-kebobrokan akidah mereka
tidak tampak dan tidak dijauhi oleh umat.
Abu Abdillah berkata, “Jagahlah agama kalian, tutupi dengan taqiyyah. Tidak dianggap beriman orang yang tidak bertaqiyyah.”
Ibnu Babawih –ulamaSyi’ah-
berkata, “Keyakinan kami dalam Taqiyyah adalah wajib. Siapa yang
meninggalkannya, maka ia seperti meninggalkan shalat.” (al-I’tiqadats, hlm. 114)
Semakin Dusta, Semakin Shaleh
Bisa disimpulkan, seorang yang
shaleh atau shalehah di mata orang Syi’ah adalah orang yang paling
sering bertaqiyyah. Jadi, semakin banyak berdus tamak aias emakin shaleh
di mata Syi’ah.
Dalama kidah Islam memang ada
ajaran taqiyyah atau tauriyah. Namun tauriyah dalam akidah Islam adalah
sebuah pilihan ketika kondisi terancam nyawa dan bersyarat, bukan sebuah
kewajiban atau rukun iman. Tidak boleh dilakukan di sembarang waktu dan
tempat.
Ibnu Mundzir, salah seorang ulama
Islam berkata, “Para ulama berijma’ bahw siapa saja yang dipaksa untuk
berbua kafir dengan ancama nyawa, maka ia diperbolehkan untuk memilih
berbohong dengan pura-pura berbuat kafir. Orang ini tidak boleh
dikafirkan.” (fathulBaari,12/314)
Namun memilih untuk matisyahid
saat demikian lebih utama. Ibnu Bathal rhm berkata, “Para ulama berijma’
bahwa siapa saja yang dipaksa antara dibunuh dengan kekafiran. Lalu ia
memilih untuk dibunuh, maka itu lebih baik dan pahalanya lebih besar di
sisi Allah SWT.” (FathulBaari,12/318)
Mut’ah, Zina Terselubung
Mut’ah bisa dijadikan senjata
bagi orang Syi’ah, namun juga menjadi titik lemah Syi’ah. Syi’ah
menjadikan nikah sebagai alat untuk merekrut anak-anak muda dan
orang-orang yang memiliki kecendrungan lebih kepada wanita.
Banyak dalil dari al-Qur’an dan
Hadits yang digunakan oleh Syi’ah untuk menghalalkan mut’ah. Namun semua
ayat yang dijadikan hujjah ditafsir sesuai nafsu Syi’ah. Tidak ada
petunjuk dari Rasulullah Sholallahu’alaihi Wassalam dan para sahabatnya
dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut sebagai kebolehan bermut’ah.
Memang Rasulullah
Sholallahu’alaihi Wassalam pernah menghalalkan mut’ah sebanyak dua kali
yaitu sebelum perang Khaibar dan diawa lfathu Makkah. Namun pada Fathu Makkah juga Rasulullah Sholallahu’alahi Wassalam mengharamkannya. Bahkan yang meriwayatkan pembatalan bolehnya mut’ah (naskh) adalah salah satu ahlu bait, yaitu Ali bin Abu Thalib dalam riwayat Muslim dan Bukhari.
Dalam bukunya, tahrimul nikahil mut’ah, imam Ibnu Abi Hafidz telah membantah kehalalan mut’ah yang ‘dijual-bebas’ oleh Syi’ah.
Pelacur Yang Shalehah
Dalam ajaran Syi’ah, mut’ah tidak
sekedar dianggap sebagai wisata biologis, tetapi lebih dari itu. Yaitu,
dianggap sebagai syarat menjadi Syi’ah yang baik. Dalam kitab Syi’ah man la Yahdhuruhul-Faqih, (3/336)
disebutkan, al-Shadiq berkata, “Mut’ah adalah agamaku, dan agama nenek
moyangku. Maka, siapa yang mengamalkannya, sungguh ia telah mengamalkan
agama kami. Siapa yang mengingkarinya, maka ia telah mengingkari agama
kami, dan telah memeluk selain agama kami.”
Banyak riwayat gubahan para ulama Syi’ah yang menunjukkan keutamaan nikah mut’ah. Salah satunya dalam buku tafsir minhajusshadiqin, konon
Rasulullah Sholallahi’alaihi Wassalam bersabda, “Barang siapa yang
melakukan mut’ah sekali, maka ia telah selamat dari murka Allah SWT.
Yang melakukannya dua kali, maka ia akan dikumpulkan bersama orang-orang
shaleh. Barang siapa yang melakukannya tiga kali, maka akan bersamaku
di surga-surga.”
Dari berbagai riwayat yang ada
dalam buku-buku induk Syi’ah dapat disimpulkan, bahwa keshalehan wanita
dalam pandangan Syi’ah adalah berbanding dengan banyaknya ia melakukan
mut’ah. Semakin sering ia melakukan mut’ah maka wanita tadi semakin
shalehah dalam ajaran Syi’ah. Artinya, semakin sering lacur, semakin
shalehah. Demikian juga laki-lakinya.
Keyakinan Syi’ah erhadap mut’ah bertentangan dengan anjuran Allah SWT untuk menjaga kemaluannya. Allah SWT berfirman,
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki [994]; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa.” (al-Mukminun: 5-7).
Dalam ayat ini Allah
mengharamkan persetubuhan dengan wanita kecuali istri sah atau hamba
sahaya. Sedangkan wanita mut’ah adalah sewaan, bukan istri yang sah.
Sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Syi’ah sendiri bahwa wanita
mut’ah-an adalah wanita sewaan, maka boleh memut’ahi lebih dari seribu
wanita, mereka tidak mendapatkan warisan, dan tidak perlu dicerai, (al-Furu’ minalKafi, 5/451).* Na’udzubillahimindzalik, *
(Disalin dari kitab Syi’ah Kawan atau Lawan)
Thanks udah mau koment di blog sederhana ini EmoticonEmoticon